Bakteri Jahat - Enterobacter sakazakii pada susu formula

Dalam catatan saya kali ini, saya akan menulis tentang " Bakteri Jahat - Enterobacter sakazakii pada pencemaran susu formula" he3x.
Seperti yang saya kutip dari news yahoo dot com, bahwa Menkes Diperintahkan Umumkan Susu Berbakteri. Sebenarnya apa sih bakteri Enterobacter sakazakii, kok berbahaya bagi manusia khususnya bayi yang prematur?

Gara-gara bakteri jahat Enterobacter sakazakii (dikenal dengan bakteri sufor-susu formula), Majelis Kasasi Mahkamah Agung memerintahkan tiga lembaga untuk mengumumkan susu formula dan makanan bayi yang terkontaminasi oleh bakteri Enterobacter Sakazakii. Hal ini menjawab gugatan ayah dua anak, David ML Tobing.
Ketiga tergugat yang dimaksud adalah Pemerintah dalam hal ini Menteri Kesehatan RI, Badan Pengawasan Obat dan Makanan, dan Institut Pertanian Bogor sebagai pihak tergugat. Majelis hakim menolak kasasi yang diajukan ketiga lembaga.

Persoalan belum selesai
David mengatakan, apabila ketiga instansi tersebut tetap bersikeras tidak mengumumkan hasil penelitian tersebut, pihaknya bakal melakukan langkah hukum yang lain. Ia akan mengajukan upaya paksa ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
”Kalau sudah mentok, saya bisa saja lapor polisi karena mereka menyembunyikan informasi,” kata David.
Diperolehnya informasi tentang merek susu tercemar Enterobacter sakazakii pun tidak membuat persoalan selesai. Apabila susu yang dikonsumsi kedua anaknya tergolong susu yang tercemar bakteri, ia akan menggugat perusahaan susu yang dimaksud. Demikian pula masyarakat yang kemungkinan besar akan berbondong-bondong memeriksakan kesehatan anaknya.
”Setidaknya untuk memeriksakan kesehatan itu kan perlu uang. Nah, itu yang harus ditanggung oleh perusahaan susu tersebut,” kata David.
-----------------------------------------

"Perintahnya jelas kok. Majelis hakim yang menyidang kasus ini pun Ketua MA. Menkes, BPOM, dan IPB harus umumkan nama-nama merek susu formula yang tercemar itu," kata David saat dihubungi Jumat 28 Januari 2011. "Pertanyaannya, mereka (tergugat) memilih perusahaan-perusahaan itu atau masyarakat?"

Putusan ini dibacakan 26 April 2010 dengan majelis kasasi yang diketuai Harifin A Tumpa dan anggota masing-masing Muchsin serta I Made Tara, seperti dikutip dari situs Mahkamah Agung.


Dalam pertimbangannya, majelis hakim menjelaskan dasar perintah tersebut adalah penelitian IPB yang diketuai Sri Estuningsih yang dipublikasikan melalui situs kampus pada 17 Februari 2008. Kesimpulan penelitian ini menyatakan bahwa di Indonesia terdapat susu formula dan makanan bayi yang tercemar bakteri Enterobacter Sakazakii.

Majelis Kasasi berpendapat suatu penelitian yang menyangkut kepentingan masyarakat harus dipublikasikan agar masyarakat lebih waspada. "Dengan tidak dipublikasikannya hasil penelitian tersebut mengakibatkan keresahan di dalam masyarakat, karena dapat merugikan konsumen," demikian bunyi putusan.

Tindakan tidak mengumumkan hasil penelitian tersebut juga dinilai sebagai tindakan yang tidak hati-hati yang dilakukan oleh para tergugat dalam melayani publik.

Sebagai salah satu para pihak, David mengaku belum menerima berkas putusan MA ini. Namun, kata dia, putusan ini dia baca di situs resmi MA. "Saya harap Pemerintah dan pihak terkait melaksanakan perintah MA ini karena jika tidak diumumkan, ini mencelakakan masyarakat," sambungnya.

David sendiri mengajukan gugatan susu formula ini ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan pada 17 Maret 2008. Pengadilan kemudian mengabulkan gugatannya agar Menkes dan tergugat lainnya mengumumkan secara transparan susu formula yang tercemar tersebut.

Tiga tergugat lantas mengajukan banding dan lalu kasasi. Namun, kedua upaya ini gagal karena hingga tingkat kasasi, majelis hakim menguatkan putusan pengadilan tingkat pertama, yakni PN Jakarta Selatan

Itulah info yang saya dapat dari yahoo news, dan kompas dot com.
Sekarang kita bahas kejahatan apa (he3x) yang ditimbulkan oleh Enterobacter sakazaki.
Tahukah Anda, bakteri Enterobacter sakazakii dapat menghasilkan enterotoksin atau bahan atau zat racun yang tahan panas. Dampak racun ini sangat berbahaya bagi bayi yang baru lahir. Seperti dikutip dari situs MA, racun yang dihasilkan bakteri tersebut menyebabkan enteritis (radang usus), sepsis (keracunan yg disebabkan oleh hasil proses pembusukan), dan meningitis (peradangan pada selaput otak dan sumsum tulang belakang).

Sementara itu, dilansir dari wikipedia, tingkat kematian akibat infeksi Enterobacter Esakazakii mencapai 40-80 persen. Sebanyak 50 pasien yang dilaporkan menderita infeksi E. Sakazakii meninggal dalam waktu satu minggu setelah diagnosa.

Pemberian nama bakteri ini sendiri untuk menghormati salah satu bakteriolog Jepang bernama Riichi Sakazakii.

Enterobacter sakazakii dapat ditemukan di beberapa lingkungan industri makanan (pabrik susu, coklat, kentang, sereal, dan pasta), lingkungan berair, sedimen tanah yang lembab. Dalam beberapa bahan makanan yang potensi terkontaminasi E. sakazakii antara lain keju, sosis, daging cincang awetan, sayuran, dan susu bubuk.

Pemohon gugatan ini, David ML Tobing mengapresiasi putusan MA yang melindungi masyarakat. "Ini putusan yang sangat positif," kata dia saat dihubungi Jumat 28 Januari 2011. "Menkes harus buka nama-nama produk susu yang terkontaminasi."

Dia meminta agar Menteri Kesehatan, BPOM, dan IPB melindungi masyarakat ketimbang perusahaan yang memproduksi susu berbakteri. "Seharusnya IPB sebagai lembaga pendidikan, tidak perlu dipaksa-paksa pengadilan lah," tegasnya. Dia pun menolak anggapan yang menyebutkan penelitian ini akan membuat perusahaan susu bangkrut.

Update on 25-2-2011:
Tindak lanjut mengenai bakteri E.sakazakii.
Seperti yang dinyatakan dalam berita vivanews, Sri Estuningsih hampir tak percaya. Sampel susu formula itu dipelototi lagi di bawah mikroskop. Matanya yang terlatih mengenal bakteri itu. Bentuknya seperti tumpukan sosis. Dia yakin itu adalah bakteri jahat Enterobacter Sakazakii, alias E Sakazakii.
Sri Estuningsih, Drh. MSi. Dr (web.ipb.ac.id)
Bakteri Enterobacter Sakazakii (www.sciencephoto.com)
Seperti tamu tak diundang, bakteri itu muncul di sampel susu. Estu, yang saat itu meneliti di Dairy Science University of Giessen Jerman, 2003, sebenarnya mencari cemaran Salmonella, Shigella, dan E coli.

Dia menelisik 74 produk makanan bayi asal Indonesia. Dari sampel itu, terbukti semua bebas cemaran Salmonella, Shigella, dan E coli. Tapi, itulah, ada 12 produk susu formula bermasalah. Dari produk susu itu ditemukan "si jahat" E sakazakii tadi.

Estu pun mengubah fokus penelitiannya. Awalnya dia bekerja untuk penelitian yang bertajuk 'Microbiological Quality of Infant Foods in Indonesia, with special emphasis on Shigella sp., and Other Pathogenic Enterobacteriaceae'. Tapi dengan temuan baru itu, dia mulai berpikir serius soal cemaran E sakazakii pada produk makanan bayi di Indonesia.

Masih di Jerman, 2004, Estu melanjutkan penelitannya. Kali ini, 24 sampel susu formula yang beredar di Indonesia ditelisik. Hasilnya: tiga sampel positif terkontaminasi E sakazakii.

Pada 2006, peneliti Departemen Klinik, Reproduksi dan Patologi Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor, itu kembali meneruskan proyek penelitiannya. Dengan sponsor dari Direktorat Pendidikan Tinggi, ia menggandeng sejumlah rekan: I Wayan Teguh Wibawan, Rochman Naim, dan Hernomoadi.

Mereka menguji 22 sampel susu formula, dan 15 sampel makanan bayi yang dipasarkan di Indonesia kurun April - Juni 2006. "Sampel makanan, dan susu formula yang kami teliti berasal dari produk lokal," ujar Estu.

Hasilnya, lima sampel (22,73 persen) susu formula, dan tujuh sampel (46,67 persen) makanan bayi tercemar E sakazakii. Ini lalu membuat heboh publik, setelah IPB menerbitkannya pada Februari 2008. Bahkan, kasus itu sampai ke Mahkamah Agung.

Pengadilan tertinggi itu mengabulkan gugatan seorang pengacara, yang mewajibkan peneliti mengungkap merek susu terkontaminasi E sakazakii.

***

Penelitian itu berlangsung dua tahap, 2006 dan 2007. Tahap pertama, isolasi dan identifikasi E sakazakii dalam 22 sampel susu formula, dan 15 sampel makanan bayi. Tahap kedua, menguji kemampuan 12 isolat (hasil isolasi) menghasilkan enteroksin (racun), melalui uji sitolisis (penghancuran sel).

Hasilnya, terdapat enam isolat yang menghasilkan enteroksin. Selanjutnya, menguji enam isolat itu pada kemampuan toksinnya setelah dipanaskan. Terdapat lima dari enam isolat itu yang masih punya kemampuan sitolisis setelah dipanaskan.

Estu kemudian menentukan satu kandidat dari isolat, dan menguji enterotoksin serta bakteri vegetatifnya pada bayi mencit berusia enam hari. Bayi mencit diinfeksi melalui rute oral (cekok mulut) memakai sonde lambung khusus dan steril.

Setelah tiga hari, dilakukan pengambilan sampel organ mencit. Berdasar pemeriksaan dengan metode hispatologi menggunakan pewarnaan Hematoksilin Eosin, infeksi yang terjadi memicu peradangan saluran pencernaan (enteritis), infeksi peredaran darah (sepsis) dan infeksi lapisan urat saraf tulang belakang dan otak (meningitis) pada bayi mencit.

Meski menolak menyebut merek sampel susu formula, dan makanan bayi yang tercemar E sakazakii, I Wayan Teguh Wibawan, yang kini menjabat Dekan Fakultas Kedokteran Hewan IPB, menjamin kredibilitas hasil penelitian itu.

Menurutnya, hasil penelitian itu sudah mendapat konfirmasi sejumlah pakar di Jerman seperti Dr Heniz Baker, Lab Food Microbiology, Maxmillan University Munich, Germany, dan Dr Steven J Forsythe, Lab Microbiology and Food Technology, Nottingham Trent University.

Hasil penelitian itu juga telah dipublikasikan di jurnal internasional, dan dipresentasikan di tingkat internasional, di Kantor FAO, Roma, Italia. "Jadi yang bersangkutan (tim peneliti) punya kredibilitas diakui di tingkat nasional dan internasional," kata Wibawan.

Saat penelitian berlangsung (2003-2007), belum ada prosedur pengecekan E sakazakii untuk industri makanan bayi di dunia. Codex Alimentarius Commission, badan standarisasi pangan dunia, baru mengaturnya pada Juli 2008. Badan Pengawas Obat dan Makanan meratifikasinya Oktober 2008.

***

E sakazakii adalah salah satu patogen gram negatif yang dapat menimbulkan penyakit. Hanya, belum ada penelitian mengungkap batas minimal cemarannya, hingga dapat memicu infeksi berbahaya.

Selain diare, infeksi ini dapat menyebabkan gangguan kesehatan serius seperti radang usus (enteritis), keracunan yang disebabkan oleh hasil proses pembusukan (sepsis), serta peradangan pada selaput otak dan sumsum tulang belakang (meningitis).

Berdasar penelitian teranyar IPB, bertajuk 'Kajian Patologi Infeksi Subklinis Enterobacter sakazakii pada Mencit untuk Model Infeksi pada Bayi', infeksi E sakazakii mampu menimbulkan infeksi secara subklinik.

Penelitian pada 2010 itu juga menarik empat kesimpulan lain. Pertama, organ target infeksi adalah otak, lambung, usus, limfonodus dan limpa. Kedua, dosis infeksi yang mampu memberi perubahan patogen mulai 10*2 CFU/ml. Tiga, waktu kejadian infeksi dimulai pada minggu ke-1 hingga ke-8. Terakhir, infeksi meninggalkan kerusakan pada jaringan, terutama organ otak.

Meski dapat menyerang berbagai kelompok usia, bakteri ini paling rentan menginfeksi bayi berumur kurang dari 28 hari, bayi lahir prematur, bayi dengan berat lahir rendah, bayi dengan sistem kekebalan tubuh rendah, dan bayi dari ibu positif HIV.

Di mancanegara, penelitian E sakazakii bukan hal baru. Bakteri ini pertama ditemukan pada kasus meningitis neonatus di Inggris, 1958. Kala itu, dua bayi yang terinfeksi meninggal.

Berdasar publikasi WHO pada 13 Februari 2004 atas laporan tahun 1961-2003, sudah 48 bayi di seluruh dunia terinfeksi. "Tapi, hingga kini tak ada laporan kasus infeksi E sakazakii (di Indonesia)," kata Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih.

Meski kasus infeksi E sakazakii terbilang rendah, namun prognosis penyakit yang ditimbulkan sangat buruk. Angka kematiannya tinggi, mencapai 40-80 persen, terutama pada bayi prematur, dan bayi dengan imunitas lebih rendah.

Selain dalam susu formula, E sakazakii banyak ditemui dalam berbagai produk pangan lain, seperti keju, daging, biji-bijian hingga bumbu-bumbuan. Bakteri ini juga ditemukan dalam pencernaan manusia dan hewan, bahkan di udara.

Tapi hampir semua kasus infeksi E sakazakii terjadi melalui asupan susu formula atau produk makanan pendamping ASI tercemar.

Menurut WHO, ada tiga kemungkinan susu formula tercemar E sakazakii, yakni melalui bahan baku yang digunakan saat proses produksi, melalui bahan lain yang ditambahkan (fortifikasi) setelah pasteurisasi, dan saat penyiapan susu formula.

E sakazakii berkembang optimal pada kisaran suhu 30-40 derajat celcius. Namun, mudah mati pada suhu di atas 70 derajat celcius. Itulah mengapa disarankan menyeduh susu formula dengan air mendidih. “Jika diaduk dalam air mendidih, dalam 15 detik bakteri mati,” kata Menkes.

Belajar dari kasus ini, orangtua sebaiknya memberikan ASI kepada bayinya. Jika ada alasan medik sehingga bayi terpaksa perlu susu formula, perhatikan prosedur penyimpanan dan penyiapannya. “Gunakan air panas minimal 70 derajat, dan minumkan segera kurang dari dua jam.”

Mengenali susu formula yang terkena Enterobacter sakazaki
Menurut Menteri Kesehatan Endang Rahayu Sedyaningsih mengatakan bakteri Enterobacter Sakazakii bersifat akut atau menjangkiti segera, sehingga gejala penyakit akan segera muncul setelah dikonsumsi.

"Jadi kalau yang mengkonsumsi susu saat itu tidak sakit, maka ia tidak sakit," kata Menkes dalam konferensi pers Rakorkesnas 2011 di Batam, Selasa.

Menkes menjelaskan lebih lanjut bahwa bakteri Enterobacter Sakazakii juga tidak bersifat carrier (pembawa) atau dormant (tidur ditubuh penderita) sehingga masyarakat tidak perlu khawatir dengan dampak bakteri tersebut.

Selain itu, Kementerian Kesehatan juga belum pernah mendapatkan laporan mengenai bayi atau balita sakit akibat bakteri tersebut yang terjangkit lewat susu formula.

Sementara itu, Pemerintah melalui Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) telah melakukan pengujian terhadap sampel susu formula yang beredar di pasar sejak 2008 dan tidak menemukan adanya susu yang tercemar bakteri Enterobacter Sakazakii.

Untuk meyakinkan masyarakat, Badan Litbang Kemenkes bersama BPOM akan melakukan pengujian kembali seluruh sampel susu di pasaran untuk mencari cemaran seluruh bakteri, bukan hanya Enterobacter Sakazakii.

"Pengujian membutuhkan waktu sekitar enam bulan. Hasilnya nanti akan kita umumkan ke masyarakat," janji Menkes. Taken from Y!NEWS

No comments:

Post a Comment