Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) tidak harus berbentuk pukulan, cambukan, atau pun hal lain yang dapat menyakiti fisik. Ternyata bentuk kekerasan seksual seperti dalam bentuk perkosaan dalam perkawinan, juga dapat digolongkan sebagai kekerasan dalam rumah tangga.
Dr Nur Rofiah, Bil Uzm, penulis buku Memecah Kebisuan: Agama Mendengar Suara Perempuan Korban Kekerasan Demi Keadilan (Respons NU), menjelaskan, perkosaan adalah melakukan hubungan seksual dengan memaksa. Situasi ini bisa terjadi dalam perkawinan ketika pemahaman tentang hubungan seksual semata sebagai hak suami yang harus dipenuhi istri.
"Perkosaan dalam perkawinan tidak dipercaya oleh masyarakat, namun terjadi. (Tidak dipercaya) Karena terjadi dalam ruang yang paling pribadi dalam rumah. Perempuan akan mengalaminya secara berulang karena tidak berani mengungkapkannya, dan takut tak ada yang mempercayainya," papar Rofiah dalam bedah buku yang diterbitkan oleh Komnas Perempuan tersebut, beberapa waktu lalu.
Rofiah menjelaskan, hubungan seks yang dihalalkan dalam perkawinan adalah yang dijalankan dengan makruf (kebaikan). Artinya, bukan dengan paksaan.
Mengenai perempuan korban kekerasan, Neng Dara Affiah, Komisioner Komnas Perempuan, menegaskan bahwa perempuan perlu mengenali pola kekerasan terhadap dirinya. Selain itu, mencari tahu instrumen hukumnya, dan bahwa perempuan korban kekerasan bisa melaporkan kasusnya.
"Banyak perempuan yang tidak mengenali bahwa dirinya mengalami kekerasan, namun menganggapnya sebagai kewajaran," jelas Neng Dara. Ia menghimbau perempuan maupun lelaki untuk mengenali kekerasan terhadap perempuan (termasuk KDRT), melaporkannya, dan tidak membiarkannya sebagai kewajaran. [source:Rimanews]
No comments:
Post a Comment