Mengapa Obat Antibiotik Harus Dihabiskan Walau Sakit Sudah "Pergi"?

Saat menerima obat yang diresepkan dokter, kita selalu membaca perintah untuk dihabiskan pada obat-obatan antibiotika. Kalau obat itu kita konsumis sendiri, tak masalah.

Persoalan kerap muncul saat memberikan obat-obatan itu pada anak. Seringkali, kita dibuat menyerah dan tak melanjutkannya karena penolakan gigih sang anak. Padahal hal ini sungguh tak menguntungkan bagi kesehatan. Mengapa?

Dokter Robert W Steele MD, pakar kesehatan anak di St John's Regional Health Center di Springfield menyatakan, kebanyakan bakteri penyakit sederhana (radang tenggorokan, infeksi telinga, dll) menanggapi relatif cepat terhadap antibiotik. "Jadi, ketika Anda atau anak Anda mulai merasa baik setelah mengonsumsi antibiotik untuk beberapa hari, sangat sulit untuk mengingatkan diri Anda untuk menyelesaikan obat yang mungkin masih harus dikonsumsi beberapa hari kemudian," ujarnya.

Namun ia mengingatkan tiga point jika obat itu tak diselesaikan sampai habis.
Pertama, semua bakteri yang menyebabkan infeksi mungkin tidak terbunuh. Akibatnya kemudian, infeksi bisa datang kembali di tempat yang sama atau bahkan muncul di tempat lain.

Kedua, akan terjadi resistensi bakteri itu atas antibiotik. Anda harus tahu, cara terbaik untuk menyebabkan bakteri menjadi resisten terhadap antibiotik adalah dengan "memperlakukan mereka secara salah". Bakteri berkembang biak sangat cepat. Ketika mereka berkembang biak, kesalahan acak terjadi di DNA mereka yang dapat membuat mereka resisten terhadap antibiotik. Cara terbaik untuk menjaga hal ini tak terjadi pada anak Anda ketika dia mengalami infeksi adalah untuk memberikan semua dosis tepat waktu. "Hal ini akan membunuh bakteri dengan cepat dan efisien. Ketika bakteri undertreated, beberapa dari mereka mungkin memiliki cukup waktu untuk memiliki kesalahan-kesalahan ini terjadi di DNA mereka," ujarnya.

Ketiga, membuat bakteri makin tangguh. Beberapa bakteri dapat membuat sistem kekebalan tubuh melakukan hal-hal yang tidak seharusnya. Sebuah contoh klasik dari hal ini adalah ketika radang tenggorokan menyebabkan demam rematik. Penyebab penyakit ini tidak sepenuhnya dipahami, namun diperkirakan bahwa ada bagian dari tubuh yang memiliki komponen yang secara kimiawi mirip dengan kuman yang menyebabkan radang tenggorokan, Grup A Streptococcus bakteri. Jadi, ketika sistem kekebalan mulai melawan bakteri ini, itu membingungkan tubuh (khususnya bagian-bagian tertentu dari otak, sendi, ginjal, dan jantung) dengan bakteri yang menyebabkan kerusakan pada bagian-bagian tubuh. Butuh beberapa saat untuk proses ini terjadi, sehingga adalah umum untuk gejala demam rematik akut muncul pada hari-hari setelah infeksi tenggorokan. Namun, hampir tidak pernah terjadi ketika radang tenggorokan awal benar-benar diobati dengan antibiotik.

Khusus radang tenggorokan, Steele menceritakan hal yang disebutnya "lucu", yaitu bahwa tubuh akan membunuh semua bakteri itu sendiri tanpa antibiotik. Antibiotik hanya membunuh mereka lebih cepat yang penting untuk menjaga demam rematik terjadi. Jika semua obat tidak dihabiskan, maka risikonya adalah terkena demam rematik yang lebih tinggi.
Bagaimana mengantisipasi hal ini? Steele memberi beberapa catatan:

* Banyak infeksi dapat diobati dengan salah satu dari beberapa obat. Tanyakan kepada dokter Anda jika ia bisa memberi sesuatu yang hanya dikonsumsi sekali atau dua kali per hari. dosis lebih sedikit membantu untuk tidak terlewatkan waktu minum obat.

* Tanyakan apakah obat harus didinginkan. Beberapa obat efektif jika diminum dalam suhu dingin.
* Buatlah sebuah kalender antibiotik terpisah dan taruh di tempat yang menonjol di rumah Anda, sehingga Anda selalu ingat kapan saatnya obat harus diminum. Repot sedikit tak mengapa, kan, daripada bakteri menjadi resisten?
[source:Republika]

No comments:

Post a Comment