Ilustrasi bunuh diri (VIVAnews/Adri Prastowo) |
Di Jepang, sekarang kian marak aksi bunuh diri karena keputusasaan. Kita tahu, kalau orang di Jepang, orangnya lebih mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Saya teringat saat SMA kelas 3 dulu ada siswa dari Jepang yang ikut tukar pelajar. Namanya dah lupa. Dia bercerita bagaimana kisah hidupnya di Jepang. Yang saya tandai kutip adalah sifat kemandirian dan kerja keras. Dimana-mana mereka selalu menghsbiskan waktunya dengan kegiatan tertentu, seperti membaca, dll. Tiada waktu yang sia-sia dalam kehidupan mereka. Betul gak ya? itu cuma katanya. Nah, dari sifat kemandirian ini, anak yang sudah dewasa (saya lupa umur berapa, udah sekitar 6 tahun lalu), tidak berani atau malu untuk meminta uang saku lagi ke orang tuanya. Mereka lebih bersikap mandiri dan lebih suka mendapatkan uang dari hasil kerja mereka sendiri. Anak tukar pelajar tersebut juga bertindak demikian. Dia menjadi siswa tukar pelajar juga dilatarbelakangi pekerjaan.
Hubungannya dengan judul di atas adalah: penduduk Jepang sampai melakukan aksi bunuh diri, salah satu penyebab utamanya adalah gara-gara belum dapat pekerjaan. Sebenarnya, faktor psikologi apa yang melatarbelakangi aksi tersebut? Aneh.
Berita dari vivanews, Jum'at, 4 Maret 2011, menyatakan bahwa aksi bunuh diri di Jepang tersebut semakin menjadi-jadi di tahun 2011 ini. Terbanyak, mereka yang bunuh diri adalah para pengangguran yang putus asa karena tidak juga mendapat kerja. Laporan ini dikeluarkan oleh kepolisian nasional Jepang (NPA) sebagai bagian dari studi bunuh diri tahunan, dilansir dari laman CNN, Kamis, 3 Maret 2011. Apa mungkin karena semakin bertambahnya jumlah penduduk,tapi lapangan pekerjaan menyempit? Entahlah, saya bukan pengamat sosial ekonomi.
Pada laporan itu, pada tahun 2010 terdapat sebanyak 424 orang yang bunuh diri karena tidak mendapatkan pekerjaan. Sebelumnya, pada 2009, angka bunuh diri pengangguran adalah 354.
Laporan NPA menyebutkan para pengangguran yang bunuh diri kebanyakan adalah mahasiswa atau sarjana. Pada 2009, angka mahasiswa pengangguran bunuh diri mencapai 23 orang. Angka ini bertambah pada 2010 dengan 53 orang, 130 persen lebih banyak.
Selain pengangguran putus asa, NPA menyebutkan angka bunuh diri pada para penjaga anak atau baby sitter juga meningkat. Pada tahun 2010, angka baby sitter yang bunuh diri sebanyak 157 orang, meningkat 44 persen dari tahun sebelumnya.
Jepang merupakan salah satu negara dengan angka bunuh diri tertinggi di dunia. Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja dan Kesejahteraan mengatakan angka bunuh diri di Jepang mencapai hingga 30 ribu orang per tahunnya, selama 13 tahun berturut-turut.
Angka ini dinilai sangat mengkhawatirkan karena menyumbang hingga 3,5 persen penurunan populasi di Jepang yang mencapai 127 juta orang. Perdana Menteri Jepang Naoto Kan menjadikan upaya untuk menekan angka bunuh diri sebagai prioritas pada pemerintahannya. Sebelumnya, Naoto Kan mengatakan, dia bertujuan mengurangi faktor-faktor yang membuat rakyat tidak bahagia.
Sebenarnya apa sih masalah mereka kok bisa sampai bunuh diri cuma belum dapat pekerjaan? Entahlah.
Sumber: warta vivanews.
Berita lain, dari tempointeraktif, menyebutkan:
dengan kemerosotan ekonomi Jepang yang tengah krisis keuangan global tiga tahun lalu, dirasa sangat berat bagi orang-orang muda yang ingin memasuki dunia kerja, karena beberapa perusahaan memilih untuk mempekerjakan pekerja yang lebih berpengalaman ketimbang lulusan baru. Di antara mahasiswa lulus tahun lalu, 60 persen bisa bekerja dibandingkan dengan 68 persen tahun sebelumnya.
Nah, tuch, gimana tahun-tahun selanjutnya dunk? Jika mereka hanya menginginkan orang berpengalaman, maka tahun depan orang berpengalaman bisa saja habis, dan akhirnya hanya ada penggangguran-pengangguran dari lulusan baru itu. Jika prinsip perusahaan yang menerima orang berpengalaman diteruskan, darimana mereka akan dapat pegawai baru? Apakah memang ya, di Jepang itu orang yang berpengalaman itu banyak sekali, sampai mereka memegang prinsip tersebut? Entahlah,...
Mungkin info dari Kompas.com ini bisa menjawab kenapa bisa sampai bunuh diri.
Kompas.com, menyebutkan bahwa sebagian besar alasan dari kasus bunuh diri adalah terlilit hutang, masalah keluarga, depresi serta masalah kesehatan lainnya. Terdapat lonjakan juga jumlah kasus bunuh diri yang menggunakan pemakaian gas sulfida hidrogen toksik yang dibuat dari deterjen.
Metode bunuh diri dengan deterjen atau memproduksi racun dengan perlengkapan rumah tangga ini ternyata telah menyebar melalui pesan di Internet. Polisi telah mendesak provider pelayanan internet agar menghapus instruksi untuk memproduksi gas beracun tersebut dari sejumlah situs.
Jumlah kasus bunuh diri melonjak tajam di Jepang setelah gejolak ekonomi tahun 1980an yang mengakibatkan sebagian besar warga Jepang kehilangan pekerjaan dan terlilit utang. Angka bunuh diri di kalangan mereka yang berusia 60 tahun atau lebih meningkat 9 persen menjadi sekitar 12.100 kasus tahun lalu. Sementara kasus bunuh diri pada kalangan remaja sedikit mengalami penurunan.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia, WHO, tingkat bunuh diri di Jepang terbilang terbesar kedua di kelompok 8 negara industri maju G8 setelah Rusia. Pada bulan Juni 2007, pemerintah Jepang berjanji mengurangi tingkat bunuh diri lebih dari 20 persen menjelang tahun 2016.
Namun, para pekerja sosial Jepang menyebut masalah ini kompleks dan memerlukan waktu untuk mencari solusinya. Perfektur Akita di Jepang utara yang merupakan wilayah dengan angka kasus bunuh diri tertinggi di Jepang dalam 13 tahun terakhir telah menjalankan program pencegahan kasus bunuh diri sejak tahun 2000.
"Kami bersyukur pemerintah memikirkan cara untuk menekan angka kasus bunuh diri, namun mereka tidak mengetahui apa yang sebenarnya terjadi," kata Yukiko Nishihara, pendiri Pusat Pencegahan Bunuh Diri Dunia Befrienders. Kasus bunuh diri tahunan di Akita yang terdiri dari sekitar 1 juta penduduk mencapai puncaknya pada tahun 2003 dengan sekitar 520 kasus sebelum turun menjadi 420 kasus pada tahun 2007.
"Tidak seperti penyakit, penyebab bunuh diri terletak pada sejumlah masalah sosial yang luas," kata Sato. "Jadi hal penting yang perlu diperhatikan adalah memahami perubahan dalam kehidupan sosial - misalnya lonjakan angka pengangguran serta pembengkakan utang," ujarnya.
Mulai Januari hingga Mei 2008, hampir 520 orang melakukan aksi bunuh diri dengan menggunakan gas hidrogen sulfida. Hanya terdapat 30 kasus yang mencakup penggunaan gas tersebut pada periode yang sama pada tahun 2007.
Kalau orang kimia pasti tahu, dan mungkin Anda yang pernah makan hidangan telur, pasti bau 'gas yang dikeluarkan', pasti berbau busuk. Gak aneh, kalau orang buang gas, pasti orang disampingnya menghindar atau memaki-maki. he3x. Nah, salah satu penyebab busuknya gas tersebut adalah kandungan gas hidrogen sulfida, H2S.
Tahu gak, dalam waktu singkat gas ini dapat melumpuhkan sistem pernafasan dan dapat mematikan seseorang yang menghirupnya jika pada konsentrasi tertentu. Pada konsentrasi rendah (0,025-25 ppm), H2S ini memiliki bau seperti telur busuk, namun pada konsentrasi tinggi (di atas 25 ppm), bau telur busuk tidak tercium lagi, karena secara cepat gas H2S melumpuhkan sistem syaraf dan mematikan indera penciuman. Nah, hati-hati dengan gas H2S ya? Banyak sumber dari gas H2S ini. Kuning telur banyak sekali mengandung unsur belerang. Nah, jangan tanya kenapa ya jika telur yang sudah basi baunya busuk.
No comments:
Post a Comment